Sabtu, 29 Desember 2012

Hak atas Informasi Terancam Konglomerasi Media

Konvergensi telematika yang mengarah pada konglomerasi dan monopoli sudah mengkhawatirkan. Dari perspektif hak asasi manusia, konglomerasi media bisa menjadi ancaman serius terhadap hak-hak masyarakat memperoleh informasi. Sebab, konglomerasi memungkinkan informasi dan berita yang disampaikan ke publik seragam. Untuk itu diperlukan langkah-langkah penting, termasuk langkah yuridis, mempersoalkan konglomerasi media yang tidak sehat.

Demikian rangkuman diskusi ‘Konglomerasi Media di Era Digital dan Dampaknya pada Hak atas Informasi Publik’ di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (21/3). Diskusi serial ini digelar sebagai respon atas fenomena konvergensi telematika, kepemilikan media, dan kepemilikan silang bisnis media dengan non-media. Apalagi saat ini sedang disusun RUU Konvergensi Telematika. Beragam usulan agar RUU ini dikaji ulang.

Peneliti Komnas HAM, Asep Mulyana, mengatakan konglomerasi media bukan hanya berdampak pada akses informasi tetapi juga pada kualitas informasi yang disajikan. Jika media mempekerjakan wartawan untuk beberapa media sekaligus, kualitas konten informasi menjadi berkurang. “Alhasil, sulit bagi publik untuk menerima informasi secara lengkap, beragam, dan objektif,” ujarnya.

Undang-Undang No 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik menekankan pentingnya informasi publik disajikan secara lengkap, utuh, benar, dan objektif. Hak atas informasi publik adalah hak asasi yang dijamin konstitusi. Jika konglomerasi media tetap dibiarkan, Asep khawatir hak publik atas informasi terancam oleh kepentingan politik pemilik media.

Konvergensi telematika adalah perpaduan layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan sehingga diperoleh nilai tambah dari layanan tersebut.

Pada pekan pertama Maret lalu, Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) melansir hasil riset yang menunjukkan ada 12 group besar yang menguasai hampir seluruh kanal media di Indonesia. Antara lain oleh MNC Group, Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, Mahaka Media Group, dan MRA Media.

Penguasaan sejumlah media oleh satu kelompok usaha dikhawatirkan bukan hanya mendegradasi keberagaman jenis informasi, tetapi juga berdampak lebih jauh jika pemilik media menguasai jaringan politik. Jika kondisi ini berlangsung, kata Asep, kartel politik akan terbentuk. Agenda-agenda kebijakan publik akan dipengaruhi opini yang lebih merepresentasikan kepentingan ekonomi politik pemilik media, dan bukan kepentingan publik dalam arti sesunguhnya.

“Jika media hanya dikuasai segelintir pengusaha yang berada di sekitar ring politik, pembangunan wacana publik besar kemungkinan akan mengalami
abuse dan decay atau pembusukan,” tandas Asep.

Untuk mencegah dampak negatif konglomerasi media, berbagai upaya sudah dilakukan. Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), misalnya, mengajukan permohonan pengujian Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. Kedua pasal ini mengatur penguasaan dan larangan pemindahtanganan Izin Penyelenggaran Penyiaran (IPP). Pemohon meminta agar MK mempertegas larangan monopoli penyiaran. “Kami minta agar MK mengeluarkan ‘fatwa’ mengenai pembatasan kepemilikan media,” kata Eko Maryadi, tim advokasi permohonan ini.

Menurut Eko, permohonan pengujian ke MK merupakan salah satu upaya yuridis yang bisa diharapkan. Sebab, mempersoalkan konglomerasi media melalui Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata Eko, sulit diharapkan. “Undang-Undang ini tidak secara khusus menyebut media,” ujarnya.

Sumber: www.hukumonline.com, Rabu, 21 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar