Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, yang dengannya menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya.
Dengan pertimbangan itu pula, maka hak atas informasi sebagai bagian
dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia(DUHAM).
Di dalam pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup
kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada
intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas
wilayah.
Penguatan atas hak informasi ini
dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun
2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang
berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk
kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide
apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau
dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya,
sesuai dengan pilihannya.
Norma-norma Hak Asasi Manusia yang
tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok sebagaimana disebut dalam
paragraf 9 dan 10 mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum
nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya
mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang termaktub
dalam hukum HAM internasional tersebut dan sekaligus mengakui bahwa
hak-hak yang terkandung dalam instrumen tersebut dimiliki oleh seluruh
individu. Mengingat Indonesia tidak mereservasi ketentuan-ketentuan
dalam Kovenan Sipol, maka ketentuan dalam kevanan Sipol, termasuk soal
hak atas informasi, berlaku bagi Indonesia.
Dalam hukum Hak Asasi Manusia,
negara c.q. pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban
(duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk,
yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to
fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah
kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi,
kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the
obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang
perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi
(the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan
hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap
pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain
(non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.
Di dalam instrumen hukum nasional, hak
atas informasi ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi. Hak ini
dinyatakan di dalam Pasal 28F UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak atas informasi
diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut kewajiban
negara dalam pemenuhannya.
Penegasan atas hak atas informasi dinyatakan dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di dalam Pasal 14 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Hak ini diperlukan
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial.
Pengaturan lebih rinci mengenai hak atas
informasi terurai di dalam UU No. 14/2008 tentang Kebebasan Informasi
Publik (UU KIP). UU ini diprakarsai oleh organisasi-organisasi
nonpemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat yang didasari oleh
semangat reformasi yang hendak melakukan koreksi total atas kesalahan
yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Sebagaimana diketahui
bahwa selama lebih dari 30 tahun Orde Baru sangat kuat memegang
semangat ketertutupan dalam penyelenggaraan negara. Tak ayal,
ketertutupan tersebut mengakibatkan maraknya kejahatan HAM yang serius
dan praktik korupsi yang akut di dalam lingkungan birokrasi dan
pemerintahan.
Pada awalnya hak atas informasi tidak
secara khusus mencantumkan kewajiban pemerintah untuk memberikan akses
informasi. Kewajiban pemerintah terbatas pada terjaminnya hak individu
untuk mendapatkan informasi. Namun disadari bahwa jaminan itu tak akan
pernah terpenuhi jika tidak disertai hak individu untuk mengakses
informasi, khususnya informasi yang dimiliki pemerintah. Pada
perkembangannya, sebagaimana praktik di beberapa negara, di dalam hak
atas informasi kemudian melekat pula hak untuk mengakses informasi
publik dan kewajiban pemerintah untuk memberikan informasi kepada
publik.
Di dalam UU KIP telah diatur tentang
kewajiban-kewajiban badan publik, dalam melayani informasi publik sesuai
dengan klasifikasinya, yaitu informasi serta merta, informasi reguler,
dan informasi yang tersedia setiap saat. Misalnya, terhadap informasi
yang bersifat serta merta, badan publik wajib mengumumkannya tanpa
penundaan, sebab jika tidak diumumkan segera, akan mengakibatkan
kerugian besar bagi kehidupan. Informasi dalam kategori ini antara lain
informasi tentang bencana dan endemi suatu penyakit di daerah tertentu.
Jika tidak menjalankan kewajiban, badan
publik (lembaga pemerintah) dapat dikenakan sanksi. Dengan begitu, ke
depan badan publik diharapkan akan jauh lebih terbuka. Keterbukaan ini
akan membuka peluang bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap
tindakan dan kebijakan badan publik dalam penyelenggaraan negara.
Semangat keterbukaan ini memang masih
terganjal oleh adanya beberapa ketentuan di dalam UU KIP yang tidak
mendukung keterbukaan informasi, diantaranya tidak dimasukkannya
BUMN/BUMD dalam kategori badan publik dan ketentuan sanksi yang
mengkriminalkan pengguna informasi. Namun terlepas dari sejumlah
kelemahannya, UU KIP menciptakan ruang yang cukup bagi terciptanya
akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui
rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan
publik serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi hajat
hidup orang banyak. Dengan demikian ia akan mendorong terwujudnya
penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan
efisien. Di samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan
publik.
Pembatasan Hak atas Informasi
Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam beberapa instrumen hukum internasional maupun nasional, yaitu Pasal 29 DUHAM, Pasal 19 Kovenan Sipol, Pasal 28J UUD 1945, dan Pasal 70 UU No. 39/1999 tentang HAM. Di dalam Kovenan Sipol dinyatakan bahwa pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu.
Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam beberapa instrumen hukum internasional maupun nasional, yaitu Pasal 29 DUHAM, Pasal 19 Kovenan Sipol, Pasal 28J UUD 1945, dan Pasal 70 UU No. 39/1999 tentang HAM. Di dalam Kovenan Sipol dinyatakan bahwa pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu.
Namun penting untuk dicatat bahwa
pembatasan hak atas informasi tidak bisa diberlakukan secara
semena-mena. Menurut instrumen-instrumen hukum tersebut, pembatasan
hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk
melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan
nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral masyarakat. Di
dalam UUD 1945 dan UU No. 39/1999 dinyatakan bahwa pembatasan hanya
dapat oleh dan berdasarkan UU “semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Di dalam Siracusa Principles (Prinsip-Prinsip
Siracusa) disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan
esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan
ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan
secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip
ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara
sewenang-wenang.
Pasal 5 Kovenan Sipol dan Pasal 74 UU
No. 39/1999 juga menyiratkan bahwa “tidak satu ketentuan dalam
Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan
atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak
asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang
ini”. Dengan demikian, pembatasan HAM, termasuk hak atas informasi, yang
dilakukan negara c.q. pemerintah harus tetap menjamin, bahkan
memperkuat, perlindungan HAM.
Salah satu alasan pembatasan hak atas
informasi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas
alasan ini lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam
Johannesburg Principles (Prinsip-Prinsip Johannesburg), yakni:
a. Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah UU atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
a. Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah UU atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
b. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.
c. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah tersebut.
d. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut. Pembatasan tersebut juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
e. Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk, misalnya, untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial.
f. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional.
g. Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar pembatasan hak atas informasi.