Senin, 28 September 2015

Pentingnya ISBN, KDT dan barcode dalam Terbitan

Setiap buku atau media reguler (majalah, buletin, newsletter, dll) harus mempunyai ISBN, KDT dan barcode sebagai standar terbitan. Apakah ketiga jenis hal tersebut? Berikut kami kutip dari sumbernya, yakni www.perpusnas.go.id.

ISBN (http://isbn.perpusnas.go.id/Home/InfoIsbn)
ISBN (International Standard Book Number) adalah kode pengidentifikasian buku yang bersifat unik. Informasi tentang judul, penerbit, dan kelompok penerbit tercakup dalam ISBN. ISBN terdiri dari deretan angka 13 digit, sebagai pemberi identifikasi terhadap satu judul buku yang diterbitkan oleh penerbit. Oleh karena itu satu nomor ISBN untuk satu buku akan berbeda dengan nomor ISBN untuk buku yang lain.
ISBN diberikan oleh Badan Internasional ISBN yan berkedudukan di London. Di Indonesia, Perpustakaan Nasional RI merupakan Badan Nasional ISBN yang berhak memberikan ISBN kepada penerbit yang berada di wilayah Indonesia. Perpustakaan Naasional RI mempunyai fungsi memberikan informasi, bimbingan dan penerapan pencantuman ISBN serta KDT (Katalog Dalam Terbitan). KDT merupakan deskripsi bibliografis yang dihasilkan dari pengolahan data yang diberikan penerbit untuk dicantumkan di halaman balik judul sebagai kelengkapan penerbit. Fungsi ISBN adalah (1). Memberikan identitas terhadap satu judul buku yang diterbitkan oleh penerbit (2).Membantu memperlancar arus distribusi buku karena dapat mencegah terjadinya kekeliruan dalam pemesanan buku (3).Sarana promosi bagi penerbit karena informasi pencantuman ISBN disebarkan oleh Badan Nasional ISBN Indonesia di Jakarta, maupun Badan Internasional yang berkedudukan di London.

KDT (http://isbn.perpusnas.go.id/Home/InfoKdt)
KDT adalah sebuah deskripsi bibliografis yang dihasilkan dari pengolahan data yang diberikan untuk dicantumkan pada halaman balik halaman judul (halaman verso / copyright) sebagai kelengkapan penerbitan.
KDT merupakan terjemahan dari Cataloguing in Publication (CIP). KDT biasanya dikelola oleh perpustakaan nasional masing-masing negara. Misalnya LC (Library of Congress) untuk Amerika Serikat, British Library di Inggris, National Library of Singapore di Singapura, PNM di Malaysia dan Perpustakaan Nasional RI di Indonesia.
KDT dibuat berdasarkan pedoman-pedoman pengolahan bahan pustaka, seperti AACR 2, DDC edisi 23, Tajuk Subjek Perpustakaan Nasional RI serta pedoman-pedoman lain yang dianjurkan dalam pengolahan bahan pustaka.
Barcode (http://isbn.perpusnas.go.id/Home/InfoBarcode)
Barcode ISBN adalah kode garis hitam putih yang merupakan lambang pengganti angka, dimana ketebalan dan kehalusan garisnya bisa terbacakan mesin atau informasi terbacakan mesin dalam format visual yang tercetak. Perjanjian antara GS1 (European Article Number International dan Uniform Code Council/EAN- UCC) dengan International ISBN dan International ISMN menghasilkan simbol barcode atau kode ISBN.

Barcode/kode ISBN diletakkan pada cover/kulit buku bagian belakang, sehingga dapat memudahkan dalam pengecekan dengan alat scanner.

Syarat utama mengurusnya adalah lembaga yang mempunyai badan hukum. Nah, jika Pembaca ingin menerbitkan buku ber-ISBN, silakan hubungi kami. Sandu Institut berpengalaman dan sudah terdaftar sebagai lembaga penerbit di Perpusnas. 

Senin, 07 Januari 2013

Free, Prior, and Informed Consent in REDD+

The principle that indigenous peoples and local communities have a right to give or withhold their Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) to developments affecting their resources is not new, although it is a relatively recent addition to the REDD+ discourse in climate change negotiations. As with other development initiatives, REDD+ is likely to bring both risks and benefits to communities living in and around targeted forest areas. In the case of REDD+, such risks and benefits may include changing land use practices and difficulties in accessing resources for both formal and informal rights holders.
Free from force, intimidation, coercion, or pressure by anyone (it can be a government, company, or any organization).
Prior implies that consent has been sufficiently sought in advance of any authorization or commencement of any project. Also, local communities must be given enough time to consider all the information and make a decision.
Informed means that the community must be given all the relevant information to make its decision about whether to agree to the project or not.
Consent requires that the people involved in the project must allow indigenous communities to say “Yes” or “No” to the project. This should be according to the decision-making process of their choice.
Although the concept of FPIC originally evolved in relation to indigenous peoples and their respective territories, in principle it is a social safeguard that respects the rights of any community whose livelihoods will be affected by an external initiative or influenced by an interest from outside. In the case of REDD+, the value and need for FPIC has been identified not only for protection of local communities’ rights and forest-dependent livelihoods but also for reducing risks on the side of the project proponent through ensuring mutual understanding and agreement between all parties concerned.

The policy discourse currently calls for REDD+ proponents to respect the right to FPIC, but there are few resources that aim to explain and train practitioners in its concepts and practice. The basic understanding and capacity of governments, NGOs, the private sector, and communities to implement and support FPIC needs to be enhanced. However, one of the key challenges of developing training materials is the lack of minimum standards on FPIC for REDD+. There is still subjective understanding of the terms and requirements of FPIC, influenced by both cultural interpretations and interests.

RECOFTC and FPIC

To address this resource gap, RECOFTC partnered with GIZ Indonesia to develop a beginner’s guide on Free, Prior, and Informed Consent in REDD+: Principles and Approaches for Policy and Project Development, with additional funding support from the Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad). The guide was first published in English in 2011, but has already been translated into Bahasa Indonesia and Nepali due to the increasing demand for local-language resources.

The guide’s success with partners – the UN-REDD Programme referred to the RECOFTC/GIZ guidebook in drafting its Guidelines on Free, Prior, and Informed Consent in REDD+, and Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) referred to the guidebook in a manual for Indigenous Community Trainers for Understanding Community Based REDD+ – prompted us to develop ‘A Training Manual: Putting Free, Prior, and Informed Consent into practice in REDD+ Initiatives.’ This manual, developed with financial and advisory support from the Institute for Global Environmental Strategies (IGES) and Norad, serves as a practical tool for trainers and facilitators to improve understanding of FPIC among stakeholders at all levels.

“REDD+ projects continue their rapid growth trajectory across the world. Already we have seen too many of these projects go ahead without local communities being aware of FPIC and developers not going through a proper FPIC process. This manual provides a tool for our global counterparts to increase awareness and understanding of FPIC so that future project development respects the rights of local communities,” says Jim Stephenson, RECOFTC’s Program Officer for People, Forests and Climate Change.

Ronnakorn Triraganon, RECOFTC’s Senior Program Officer and expert trainer, adds, “Experience shows local people become invisible victims of forestry programs when their rights are ignored . To avoid conflict and to ensure they get benefits from any forestry intervention, including REDD+, we need to promote their rights at every step. This training manual has been developed to support field trainers and facilitators in integrating Free, Prior, and Informed Consent in any forestry initiative, and particularly in REDD+. It has been structured so they can unpack  and examine the FPIC concepts to make it work in any context.”


Source: http://www.recoftc.org/site/resources/FPIC-in-REDD-/

Sabtu, 29 Desember 2012

Hak atas Informasi Terancam Konglomerasi Media

Konvergensi telematika yang mengarah pada konglomerasi dan monopoli sudah mengkhawatirkan. Dari perspektif hak asasi manusia, konglomerasi media bisa menjadi ancaman serius terhadap hak-hak masyarakat memperoleh informasi. Sebab, konglomerasi memungkinkan informasi dan berita yang disampaikan ke publik seragam. Untuk itu diperlukan langkah-langkah penting, termasuk langkah yuridis, mempersoalkan konglomerasi media yang tidak sehat.

Demikian rangkuman diskusi ‘Konglomerasi Media di Era Digital dan Dampaknya pada Hak atas Informasi Publik’ di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (21/3). Diskusi serial ini digelar sebagai respon atas fenomena konvergensi telematika, kepemilikan media, dan kepemilikan silang bisnis media dengan non-media. Apalagi saat ini sedang disusun RUU Konvergensi Telematika. Beragam usulan agar RUU ini dikaji ulang.

Peneliti Komnas HAM, Asep Mulyana, mengatakan konglomerasi media bukan hanya berdampak pada akses informasi tetapi juga pada kualitas informasi yang disajikan. Jika media mempekerjakan wartawan untuk beberapa media sekaligus, kualitas konten informasi menjadi berkurang. “Alhasil, sulit bagi publik untuk menerima informasi secara lengkap, beragam, dan objektif,” ujarnya.

Undang-Undang No 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik menekankan pentingnya informasi publik disajikan secara lengkap, utuh, benar, dan objektif. Hak atas informasi publik adalah hak asasi yang dijamin konstitusi. Jika konglomerasi media tetap dibiarkan, Asep khawatir hak publik atas informasi terancam oleh kepentingan politik pemilik media.

Konvergensi telematika adalah perpaduan layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan sehingga diperoleh nilai tambah dari layanan tersebut.

Pada pekan pertama Maret lalu, Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) melansir hasil riset yang menunjukkan ada 12 group besar yang menguasai hampir seluruh kanal media di Indonesia. Antara lain oleh MNC Group, Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, Mahaka Media Group, dan MRA Media.

Penguasaan sejumlah media oleh satu kelompok usaha dikhawatirkan bukan hanya mendegradasi keberagaman jenis informasi, tetapi juga berdampak lebih jauh jika pemilik media menguasai jaringan politik. Jika kondisi ini berlangsung, kata Asep, kartel politik akan terbentuk. Agenda-agenda kebijakan publik akan dipengaruhi opini yang lebih merepresentasikan kepentingan ekonomi politik pemilik media, dan bukan kepentingan publik dalam arti sesunguhnya.

“Jika media hanya dikuasai segelintir pengusaha yang berada di sekitar ring politik, pembangunan wacana publik besar kemungkinan akan mengalami
abuse dan decay atau pembusukan,” tandas Asep.

Untuk mencegah dampak negatif konglomerasi media, berbagai upaya sudah dilakukan. Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), misalnya, mengajukan permohonan pengujian Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. Kedua pasal ini mengatur penguasaan dan larangan pemindahtanganan Izin Penyelenggaran Penyiaran (IPP). Pemohon meminta agar MK mempertegas larangan monopoli penyiaran. “Kami minta agar MK mengeluarkan ‘fatwa’ mengenai pembatasan kepemilikan media,” kata Eko Maryadi, tim advokasi permohonan ini.

Menurut Eko, permohonan pengujian ke MK merupakan salah satu upaya yuridis yang bisa diharapkan. Sebab, mempersoalkan konglomerasi media melalui Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata Eko, sulit diharapkan. “Undang-Undang ini tidak secara khusus menyebut media,” ujarnya.

Sumber: www.hukumonline.com, Rabu, 21 Maret 2012

Jumat, 26 Oktober 2012

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Oleh Asep Mulyana, dimuat dalam http://www.kontrasaceh.org/

Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, yang dengannya menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya.
 
Dengan pertimbangan itu pula, maka hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(DUHAM). Di dalam pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.

Penguatan atas hak informasi ini dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya.

Norma-norma Hak Asasi Manusia yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok sebagaimana disebut dalam paragraf 9 dan 10 mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam hukum HAM internasional tersebut dan sekaligus mengakui bahwa hak-hak yang terkandung dalam instrumen tersebut dimiliki oleh seluruh individu. Mengingat Indonesia tidak mereservasi ketentuan-ketentuan dalam Kovenan Sipol, maka ketentuan dalam kevanan Sipol, termasuk soal hak atas informasi, berlaku bagi Indonesia.

Dalam hukum Hak Asasi Manusia, negara c.q. pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.

Di dalam instrumen hukum nasional, hak atas informasi ditempatkan dalam posisi yang sangat tinggi. Hak ini dinyatakan di dalam Pasal 28F UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak atas informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut kewajiban negara dalam pemenuhannya.

Penegasan atas hak atas informasi dinyatakan dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 14 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Hak ini diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial.

Pengaturan lebih rinci mengenai hak atas informasi terurai di dalam UU No. 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP). UU ini diprakarsai oleh organisasi-organisasi nonpemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat yang didasari oleh semangat reformasi yang hendak melakukan koreksi total atas kesalahan yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Sebagaimana diketahui bahwa selama lebih dari 30 tahun Orde Baru sangat kuat memegang semangat ketertutupan dalam penyelenggaraan negara. Tak ayal, ketertutupan tersebut mengakibatkan maraknya kejahatan HAM yang serius dan praktik korupsi yang akut di dalam lingkungan birokrasi dan pemerintahan.

Pada awalnya hak atas informasi tidak secara khusus mencantumkan kewajiban pemerintah untuk memberikan akses informasi. Kewajiban pemerintah terbatas pada terjaminnya hak individu untuk mendapatkan informasi. Namun disadari bahwa jaminan itu tak akan pernah terpenuhi jika tidak disertai hak individu untuk mengakses informasi, khususnya informasi yang dimiliki pemerintah. Pada perkembangannya, sebagaimana praktik di beberapa negara, di dalam hak atas informasi kemudian melekat pula hak untuk mengakses informasi publik dan kewajiban pemerintah untuk memberikan informasi kepada publik.
Di dalam UU KIP telah diatur tentang kewajiban-kewajiban badan publik, dalam melayani informasi publik sesuai dengan klasifikasinya, yaitu informasi serta merta, informasi reguler, dan informasi yang tersedia setiap saat. Misalnya, terhadap informasi yang bersifat serta merta, badan publik wajib mengumumkannya tanpa penundaan, sebab jika tidak diumumkan segera, akan mengakibatkan kerugian besar bagi kehidupan. Informasi dalam kategori ini antara lain informasi tentang bencana dan endemi suatu penyakit di daerah tertentu.

Jika tidak menjalankan kewajiban, badan publik (lembaga pemerintah) dapat dikenakan sanksi. Dengan begitu, ke depan badan publik diharapkan akan jauh lebih terbuka. Keterbukaan ini akan membuka peluang bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap tindakan dan kebijakan badan publik dalam penyelenggaraan negara.

Semangat keterbukaan ini memang masih terganjal oleh adanya beberapa ketentuan di dalam UU KIP yang tidak mendukung keterbukaan informasi, diantaranya tidak dimasukkannya BUMN/BUMD dalam kategori badan publik dan ketentuan sanksi yang mengkriminalkan pengguna informasi. Namun terlepas dari sejumlah kelemahannya, UU KIP menciptakan ruang yang cukup bagi terciptanya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian ia akan mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Di samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Pembatasan Hak atas Informasi
Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam beberapa instrumen hukum internasional maupun nasional, yaitu Pasal 29 DUHAM, Pasal 19 Kovenan Sipol, Pasal 28J UUD 1945, dan Pasal 70 UU No. 39/1999 tentang HAM. Di dalam Kovenan Sipol dinyatakan bahwa pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu.

Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi tidak bisa diberlakukan secara semena-mena. Menurut instrumen-instrumen hukum tersebut, pembatasan hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral masyarakat. Di dalam UUD 1945 dan UU No. 39/1999 dinyatakan bahwa pembatasan hanya dapat oleh dan berdasarkan UU “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Di dalam Siracusa Principles (Prinsip-Prinsip Siracusa) disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.

Pasal 5 Kovenan Sipol dan Pasal 74 UU No. 39/1999 juga menyiratkan bahwa “tidak satu ketentuan dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, pembatasan HAM, termasuk hak atas informasi, yang dilakukan negara c.q. pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM.

Salah satu alasan pembatasan hak atas informasi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan ini lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-Prinsip Johannesburg), yakni:
a. Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah UU atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

b. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.

c. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah tersebut.

d. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut. Pembatasan tersebut juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

e. Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk, misalnya, untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial.

f. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional.

g. Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar pembatasan hak atas informasi.


HAK ATAS INFORMASI adalah HAM



Sebagai manusia kita mempunyai hak mendasar yang disebut dengan hak asasi. Hak asasi adalah hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Selain hak asasi, sebagai warga Negara kita juga mempunyai HAK ATAS INFORMASI. Sebagaimana hak asasi, hak atas informasi juga melekat pada setiap diri warga Negara. Hak atas informasi ini dijamin oleh Konstitusi atau UUD 1945. Pada pasal 28F dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Untuk menguatkan ketentuan dalam UUD 1945 tersebut, maka disusunlah Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU KIP memberikan jaminan kepada SETIAP WARGA NEGARA untuk memperoleh informasi yang dikuasai oleh BADAN PUBLIK. UU KIP memberikan acuan yang sangat jelas kepada warga negara tentang tata cara MEMPEROLEH INFORMASI dari badan publik. UU KIP juga mengatur tentang apa yang harus dilakukan oleh warga negara (pemohon informasi publik) jika niatnya untuk memperoleh informasi dari badan publik dihambat oleh pejabat di dalam publik tersebut. Penyelesaian sengketa permintaan informasi tersebut akan diselesaikan oleh KOMISI INFORMASI.


Melalui UU KIP masyarakat dapat memantau setiap kebijakan, aktivitas maupun anggaran badan-badan publik berkaitan dengan penyelenggaraan negara maupun yang berkaitan dengan kepentingan publik lainnya.
OBJEK-OBJEK POKOK DALAM UU KIP

1. PEMOHON INFORMASI PUBLIK adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik.

2. PENGGUNA adalah orang yang menggunakan informasi publik.

3. INFORMASI adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik.

4.INFORMASI PUBLIK adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

5. BADAN PUBLIK adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Dikutip dari buku PANDUAN SEDERHANA PENERAPAN UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK yang dimuat di http://dreamindonesia.wordpress.com/

Selengkapnya silahkan Download buku PANDUAN SEDERHANA PENERAPAN UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK di link ini